Arsip Kategori: Opini

Melawan Stigma Kepustakawanan — sisilain pustakawan

Setiap mengalami kempes ban di jalan aku selalu berfikir akan ada tukang ban dekat lokasi kejadian. Sepuluhan kali aku mengalami. Entah kenapa aku berfikir seperti itu. Sangkaan positifku mengatakan mungkin Tuhan masih sayang aku, tidak menguji hamba-Nya melebihi kemampuan. Nggak kebayang, kan menuntun motor dengan ban kempes melebihi 500 meter? Dugaan burukku kadang berkata “paku […]

via Melawan Stigma Kepustakawanan — sisilain pustakawan

Pilkada Rasa Daging

https://i0.wp.com/kpujakarta.go.id/file_berita/pengumuman%20calon.docx-page-001_2354766791.jpg
Sumber gambar: http://kpujakarta.go.id/file_berita/pengumuman%20calon.docx-page-001_2354766791.jpg

Rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah pada tahun 2017. Salah satunya adalah Pilkada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang memiliki tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur [1], yaitu: 1. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, 2. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, dan 3. Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno. Pilkada DKI Jakarta merupakan Pilkada yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat dan media massa sehingga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta merupakan Pilkada rasa Pilpres (Pemilihan Umum Presiden)[2]. Kalau menurut pendapat saya, Pilkada DKI Jakarta merupakan Pilkada rasa daging.

Mengapa saya sebut demikian? Saya melihat dari sudut pandang diri saya sebagai warga DKI Jakarta dalam Pilkada DKI Jakarta ini seperti hendak memilih makanan berbahan dasar daging. Makanan yang saya butuhkan bukan sekedar untuk mengisi perut tetapi juga menyambung hidup, memuaskan selera makan, dan harus sesuai dengan batasan/aturan makan saya. Menu tersaji yang dapat saya pilih adalah makanan berbahan dasar: 1. Daging Sapi, 2. Daging Babi, atau 3. Daging Kambing. Mau diolah sedemikian rupa, bahan utamanya adalah salah satu dari ketiga daging ini.

Daging sapi merupakan daging yang secara umum paling banyak dijual di Indonesia, bahkan kita sampai perlu impor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Daging sapi dapat diolah menjadi banyak menu favorit masyarakat dan banyak yang cocok dengan rasanya. Akan tetapi, ada masyarakat yang tidak makan daging sapi misalnya umat Hindu. Sapi dalam ajaran Agama Hindu merupakan hewan yang suci [3]. Kita semua wajib menghargai ini dan tidak boleh ada seseorang (misalnya seorang penjual bakso sapi yang kebetulan berjualan di daerah mayoritas umat Hindu) mengatakan bahwa mereka dibohongi oleh ajaran agama mereka atau dibohongi oleh pemuka agama mereka perihal memakan daging sapi.

Menurut sahabat saya yang makan daging babi, ini adalah daging yang rasanya paling enak. Meskipun saya belum pernah mencicipinya, saya percaya hal itu karena saya berpikir kalau lemak/minyak babi yang dicampurkan ke makanan saja sering dikatakan dapat membuat makanan menjadi lezat, apalagi dagingnya? Pasti lezat sekali. Meskipun demikian, tidak semua orang dapat makan daging babi. Agama Islam melarang umat muslim untuk memilih daging babi sebagai pilihan makanannya [4].

Di Indonesia, menjual makanan berbahan daging babi merupakan hak setiap warga, meskipun masyarakatnya mayoritas muslim. Di sinilah kita memerlukan Label Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengingatkan dan menjaga umat muslim dari makanan-makanan haram seperti daging babi. Pedagang daging babi juga tidak boleh mengatakan bahwa ajaran Agama Islam atau ulamanya berbohong dengan ayat tersebut karena takut dagangan berbahan daging babinya tidak laku. Mereka tidak boleh memaksakan kehendak dan menyebarkan propaganda bahwa orang yang pilih makan daging babi itu orang-orang rasional/cerdas karena rasanya terbukti paling enak dan yang tidak makan daging itu tidak rasional/bodoh karena mengikuti keyakinan mereka ketimbang bukti rasa enaknya.

Daging kambing merupakan daging yang juga sering kita temui sebagai bahan makanan di Indonesia. Biasanya diolah menjadi sate, nasi kebuli, kambing guling, dan lainnya. Rasanya enak dan menjadi favorit banyak orang seperti daging sapi. Hal ini tidak berarti semua orang bisa makan daging kambing. Daging kambing merupakan pantangan untuk orang-orang yang memiliki riwayat penyakit darah tinggi, kolesterol, dan beberapa penyakit lainnya. Kita tidak boleh memaksakan mereka untuk makan daging kambing karena dapat memperparah penyakit yang mereka derita.

Apapun pilihan daging yang akan kita makan nanti tentu harus dapat kita pertanggungjawabkan masing-masing. Tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Hal yang sama berlaku kepada mereka yang memilih menjadi vegetarian karena meyakini bahwa semua jenis daging itu tidak baik, jahat, dan merusak. Setiap pilihan untuk memilih atau tidak memilih ada konsekuensinya [5] [6]. Marilah peduli dan cintai diri kita, keluarga, lingkungan, dan negara kita. Rakyat Indonesia patut bersyukur karena tidak atau belum mengalami apa yang terjadi di negara-negara yang sedang berkonflik saat ini. Semoga Indonesia tidak jatuh dalam konflik atau jatuh dalam genggaman pemimpin Otoriter Gila. Merdeka! [7]
# Didedikasikan untuk sahabat saya Bopung sesama mantan relawan yang sedang galau. Golput itu bukan elu banget bro!
-Dwijo-
Pustakawan
Mantan Relawan Jakarta Baru (Jokowi-Ahok) 2012

Referensi
[1] http://kpujakarta.go.id/view_berita/pengumuman_nama_dan_nomor_urut_pasangan_calon_gubernur_dan_wakil_gubernur_dki_jakarta_tahun_2017
[2] http://news.liputan6.com/read/2609714/3-kandidat-di-pilkada-dki-rasa-pilpres
[3] http://www.kulkulbali.co/post.php?a=373&t=mengapa_orang_hindu_tidak_memakan_daging_sapi#.WBqKxftaczI
[4] https://rumaysho.com/13221-kenapa-babi-diciptakan-lantas-diharamkan.html
[5] https://www.youtube.com/watch?v=qQOyoeBKf5o
[6] https://www.youtube.com/watch?v=kP6DttvPZmk
[7] https://www.youtube.com/watch?v=dMSga7hLbYY

 

Apakah dapat disebut sebagai perpustakaan jika tidak memiliki keanggotaan?

“selamat malam, saya ingin bertanya mengenai perpustakaan. apakah dapat disebut perpustakaan jika tidak memiliki keanggotaan? dalama arti, perpustakaan khusus ini terbuka untuk umum namun mereka tidak membuat keanggotaan bagi pengujungnya. terima kasih – uciucai”

Demikianlah pertanyaan menarik dari salah seorang pengunjung blog ini. Meskipun sebenarnya saya masih perlu memperoleh tambahan penjelasan agar hal yang ditanyakan benar-benar jelas atau tuntas. Saya akan mencoba membahasnya pada kesempatan kali ini.

Pertanyaan diatas akan saya jawab dengan melihat definisi dari “Perpustakaan” itu sendiri. Apa itu perpustakaan? Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan

“Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.”

“Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, atau organisasi lain.”

Definisi di atas memberikan kita gambaran mengenai unsur-unsur penting yang ada di perpustakaan, yaitu:
1. Pustakawan,
2. Koleksi, dan
3. Pemustaka (pengguna yang memanfaatkan perpustakaan).
Tanpa ada salah satu dari unsur-unsur ini maka menurut saya suatu institusi tidak dapat disebut sebagai perpustakaan. Perpustakaan tanpa ada pustakawan, lalu siapa yang akan mengelolanya dengan sistem baku dan profesional? Bukankah “Library is the librarian it’s self?” Apabila perpustakaan tanpa ada koleksi, lalu apa yang akan dikelola dan dimanfaatkan? Perpustakaan tanpa pemustaka atau orang-orang yang menggunakan/memanfaatkan perpustakaan, lalu siapa yang akan memanfaatkan perpustakaan? dan untuk apa perpustakaan itu ada? apa gunanya?

Apabila yang dimaksud dalam pertanyaan uciucai adalah institusi tersebut tidak memiliki pemustaka atau pengguna yang memanfaatkan perpustakaan tersebut maka saya katakan institusi itu bukanlah perpustakaan. Perpustakaan Khusus pun tetap harus memiliki pemustaka (meskipun ruang lingkup pemustaka terbatas/khusus). Apabila yang dimaksud dalam pertanyaan uciucai adalah institusi tersebut tidak memiliki MANAJEMEN/PENGELOLAAN KEANGGOTAAN maka jawabannya relatif.

Mengapa relatif? Kita harus melihat bagaimana cara koleksi itu dimanfaatkan oleh pengguna. Apakah koleksi tersebut dipinjamkan secara gratis, disewakan, atau dijual. Ketiga proses pemanfatan koleksi oleh pengguna menentukan akan menjadi apa institusi tersebut. Koleksi yang dimanfaatkan untuk dipinjam oleh pengguna secara gratis, kita dapat menyebut institusi itu sebagai perpustakaan. Lalu, koleksi yang dimanfaatkan untuk disewakan kepada pengguna, kita menyebut institusi itu sebagai kios penyewaan buku. Berdasarkan sejarahnya, kios-kios penyewaan buku ini pada awalnya muncul dari usaha warga keturunan Tionghoa pada masa kolonialisme untuk mendapatkan sumber informasi/menambah ilmu dan kini berkembang menjadi Taman Baca Masyarakat (Sudarsono dan Rahmawati, 2012). Terakhir, koleksi yang dimanfaatkan untuk dibeli, kita menyebut institusi itu sebagai toko buku.

Semoga sampai di sini penanya (uciucai) sudah dapat menyimpulkan dan mendapatkan jawaban. Saran saya, perpustakaan perlu memiliki sebuah mekanisme manajemen keanggotaan untuk mempermudah kegiatan perpustakaan. Dengan adanya manajemen keanggotaan, kita dapat mengetahui dan mengenal siapa saja para pemustaka kita. Bukan hanya untuk keperluan pelaporan tetapi juga untuk keperluan mendekatkan perpustakaan kepada penggunanya/pemustaka. Selain itu, manajemen keanggotaan dapat digunakan untuk pencatatan apabila pemustaka ingin meminjam koleksi untuk dibawa pulang. Perpustakaan pun dapat mengetahui tentang minat baca dari pengguna/pemustaka terhadap koleksi-koleksi tertentu. Hal ini bermanfaat salah satunya untuk pengembangan koleksi. Semoga jawaban dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki ini bermanfaat. Apabila ada pendapat lain silahkan berikan komentar Anda di bawah ini. Wassalamu’alaikum
-Kolordwijo-

Referensi:
Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Sudarsono, Blasius dan Rahmawati, Ratih. 2012. Perpustakaan untuk Rakyat: Dialog Anak dan Bapak. Jakarta: Sagung Seto.

Arah Bahtera Kepustakawanan Indonesia

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS: Saba’ Ayat: 1)

Beberapa waktu yang lalu seorang rekan mengirimkan sebuah artikel yang berjudul “35 TAHUN IPI : 1973-2008” karya Guru kami Drs. Zulfikar Zen. Artikel ini disampaikan pada acara Musayawarah Daerah (Musda) Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia di Banjarmasin, pada 9 Oktober 2008. Menurut saya, artikel ini menarik untuk kita baca.

Dari artikel ini, kita dapat mengetahui sejarah dan kiprah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI, dibaca i-pe-i). IPI memang resmi berdiri pada tahun 1973, namun gagasan dibentuknya “persatuan ahli perpustakaan di Indonesia” sudah dimulai oleh A.G.W. Dunningham dan A. Patah pada tahun 1952-1953. Gagasan ini direspon dengan diadakannya pertemuan para pegawai perpustakaan di Jakarta sehingga lahirlah perkumpulan pustakawan yang pertama yaitu Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) pada 4 Juli 1953. API kemudian berkembang menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) pada 27 Maret 1954 sebagai hasil dari Konferensi Perpustakaan Seluruh Indonesia. Kemudian, PAPSI diubah menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi (PAPADI) dalam Kongres I PAPSI tanggal 6 April 1956. 15 Juli 1962, PAPADI mengalami perubahan nama menjadi Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI). Selain APADI, ada juga Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI) yang berdiri pada 5 Desember 1969. Kedua organisasi inilah (APADI dan HPCI) yang kemudian bersatu membentuk Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) pada tahun 1973.

IPI sudah menjadi satu-satunya organisasi resmi pustakawan Indonesia selama bertahun-tahun. Akan tetapi sejak era reformasi dimulai pada tanggal 21 Mei 1998, pola organisasi di Indonesia mengalami berbagai perubahan termasuk organisasi perpustakaan dan pustakawan di Indonesia. 12 Oktober 2000, Forum Perpustakaan perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) dibentuk. Disusul pembentukan Forum Perpustakaan Khusus Indonesia (FPKUI) pada 18 november 2000. Kemudian, ada Forum Perpustakaan Umum Indonesia (FPUI) yang dibentuk pada 4 Juni 2002 dan Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia (FPSI) pada 8 Agustus 2002. Pada periode 2006, Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) terbentuk, tepatnya pada 23 Maret 2006. Pembentukan organisasi-organisasi ini mendapatkan perhatian khusus dalam artikel yang disampaikan pada Musayawarah Daerah (Musda) Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia di Banjarmasin, pada 9 Oktober 2008.

Pada saat ini, ada sekitar 13 asosiasi perpustakaan dan pustakawan di Indonesia. Menurut Pak Zulfikar ini adalah konsekuensi logis setelah era reformasi dan semakin banyak jumlah pustakawan di Indonesia. Secara positif, hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyaknya pustakawan yang mulai peduli dan akan ada darah segar juga energi baru untuk kemajuan kepustakawanan Indonesia. Di sisi lain, ada pula kekhawatiran akan terjadinya perpecahan dan munculnya kesenjangan dalam kualitas sumberdaya pengurus antara organisasi yang satu dengan yang lainnya.

Dalam artikel tersebut juga tidak disangkal bahwa IPI memiliki kekurangan-kekurangan dalam kiprahnya selama ini. Akan tetapi, hendaknya asosiasi lain yang lahir kemudian tidak menyangkal peran positif IPI selama ini. IPI ingin berperan sebagai perekat dan pemersatu antar pustakawan tanpa perbedaan status, latar belakang pendidikan, dan lembaganya.

SINERGI ANTAR ASOSIASI PUSTAKAWAN DAN PERPUSTAKAAN INDONESIA
Bangsa kita memiliki sebuah konsep kearifan lokal yang dikenal dengan gotong-royong. Sebagai pustakawan, kita pun menyadari bahwa tidak ada satu perpustakaan yang mampu mengakomodir semua kebutuhan pemustaka. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang pesat dan karakteristik generasi milenial atau net-generation yang berbeda dengan generasi sebelumnya, hendaknya pustakawan semakin sadar dengan besarnya tantangan kita hari ini.

Pustakawan tidak lagi memiliki waktu untuk saling mempermasalahkan antara kita. Zaman ini adalah zaman dimana sebuah perusahaan besar sekaliber Sony, Sharp, Toshiba, dan Sanyo dari Jepang mengalami kemerosotan padahal beberapa dekade lalu, Samsung adalah bahan lelucon harian mereka. Zaman dimana mungkin Nokia menyesali pengembangan OS Symbian dan mengacuhkan Android. Dari kasus Sony dan Nokia, kita dapat mempelajari pentingnya menjadi cepat dalam beradaptasi serta selalu berinovasi dan tidak meremehkan siapapun.

Menurut hemat saya, cara peleburan organisasi-organisasi menjadi satu seperti pada kasus APADI dan HPCI menjadi IPI beberapa dekade lalu berpotensi menghambat munculnya inovasi dan pergerakan kita sendiri. Yang kita butuhkan saat ini adalah sebuah sinergi. Sinergi perlu dilakukan oleh semua asosiasi pustakawan dan perpustakaan juga asosiasi lain yang bersentuhan dengan bidang ini.

Sinergi terlihat mudah untuk sekedar diucapkan namun kita sadar tidak akan semudah pada prakteknya. Tentu hal ini menuntut kita untuk merendahkan ego sektoral/mungkin ego pribadi dan terus secara konsisten berusaha mewujudkannya. Komunikasi yang rutin juga diperlukan untuk dapat terciptanya sebuah sinergi. Diharapkan asosiasi-asosiasi pustakawan dan perpustakaan mampu untuk duduk bersama dengan melakukan pertemuan secara rutin dengan demikian kesempatan untuk berkomunikasi dan bermusyawarah semakin terbuka.

Komunikasi dan musyawarah dapat mencegah kita untuk saling mencurigai dan membenci. Terlebih lagi apabila sampai ada penyampaian nasihat atau kritik dengan cara yang kurang tepat. Imam Syafi’i pun pernah berpesan
“Nasihati aku kala sunyi dan sendiri; jangan di kala ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak, maka maafkan jika aku berontak.” (Asy-Safi’i)
Allah juga telah memberikan petunjuk kepada kita untuk bermusyawarah. Salah satu contohnya terdapat pada Surat Ali ‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

Apa saja yang perlu dimusyawarahkan? Hal-hal yang perlu dimusyawarahkan tentunya perihal kepustakawanan di Indonesia, khususnya mengenai visi dan pola pergerakan yang akan dilakukan oleh masing-masing asosiasi pustakawan dan perpustakaan. Visi, misi, dan tujuan masing-masing asosiasi pustakawan dan perpustakaan perlu di-peta-kan. Hal ini akan membantu kita dalam memperjelas peran dan fungsi setiap asosiasi pustakawan dan perpustakaan. Hendaknya kita memahami mengenai apa, bagaimana, dan mengapa kita ini?

Asosiasi pustakawan dan perpustakaan tentu memiliki kekuatan, kelemahan, keuntungan, dan ancaman masing-masing. Kelemahan satu asosiasi dapat ditutupi dengan bantuan kekuatan asosiasi lainnya, begitu juga ancaman satu asosiasi dengan keuntungan asosiasi lainnya. Hal yang penting adalah untuk membentuk cita-cita bersama, menyepakati visi bersama. Visi ini kemudian perlu dituangkan dan dijabarkan lebih rinci kedalam kerangka program atau kegiatan yang saling bersinergi.

Memahami hakikat asosiasi dan diri, membentuk visi bersama, pemetaan pergerakan, dan bersinergi merupakan hal-hal yang dapat kita terus upayakan untuk menghadapi tantangan saat ini. Saya berharap, semua pihak dapat ikut berperan mendorong terciptanya sinergisme ini bahkan untuk “sekedar” sebuah partisipasi keanggotaan dalam asosiasi ataupun doa. Seperti kisah berikut ini:
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata: “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata:
“Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan…”
[Lihat Silsilah ash-Shahihah: 526, 2004, 2692]
‘Abdah melanjutkan: “Aku pun  berkata: “Ini adalah perkara yang mudah…”
Mujahid lantas menegur, seraya berkata:
“Janganlah engkau berkata demikian, karena Allah ta’ala berfirman;
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak dapat menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka…” (QS Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia (Mujahid) memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku…”
(Hilyatul Auliya’ :3/297, Silsilah as-Shahiihah: 2004)

Dari kisah ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa hanya Allah SWT yang mampu mempersatukan hati manusia. Dia-lah Maha Penguasa Hati yang mampu membolak-balikkan hati makhluk-Nya dan hanya kepada-Nya lah kita hendaknya memohon. -dwijo

 

Referensi:
__. 200?. “Musyawarah dalam Islam”.  http://kiteklik.blogspot.com/2010/08/musyawarah-dalam-islam.html#sthash.O7tjHxPB.dpuf (Diakses pada 5 Maret 2015)
Antariksa, Yodhia. 2012. “The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo” http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/#sthash.8IzfFY6k.dpuf (Diakses pada 5 Maret 2015)
Asmara, Aldiles Delta. 2015. “Adab menasihati”. http://www.dakwatuna.com/2015/02/25/64561/adab-menasihati/#ixzz3TTrEimGT (Diakses pada 5 Maret 2015)
Femi, Albertus. 2013. “Kontradiksi Artikel The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo”. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/09/kontradiksi-artikel-the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-toshiba-dan-sanyo-517947.html (Diakses pada 5 Maret 2015)
Maarif, Ahmad Syafii. 2013. “Rontoknya perusahaan Jepang”. http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/05/10/mmkh36-rontoknya-perusahaan-jepang (Diakses pada 5 Maret 2015)
Sahabat ilmu. 2015. “Jabat tangan”. Sebuah kisah yang disebarkan melalui media sosial.
Zen, Zulfikar. 2008. “35 TAHUN IPI : 1973-2008”. Makalah  pada: Musayawarah Daerah (Musda) Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia KALIMANTAN SELATAN Banjarmasin, 9 Oktober 2008.

Saya Prihatin Perpustakaan (Masih) Jadi Tempat Sampah

Perpustakaan "Tong Sampah"

Belum lama-lama ini dunia kepustakawanan lagi-lagi dikejutkan dengan kabar yang cukup heboh. Kabar datang dari pemerintahan DKI Jakarta yang dikomandoi oleh Gubernur Joko Widodo (Jokowi) mengenai rotasi yang terjadi dalam jajarannya. Dalam 20 pejabat eselon II yang dirotasi terdapat nama Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendi, yang diberikan jabatan baru sebagai Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta.

Mengapa Digeser?

Publik, khususnya yang berkecimpung di dunia kepustakawanan pun bertanya-tanya akan rotasi yang dilakukan Jokowi. Memang sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini perpustakaan dijadikan sebagai tempat pembuangan, tempat hukuman, tempat pengisolasian pegawai-pegawai yang kinerjanya tidak bagus, bermasalah/membangkang, dan menjelang masa pensiun. Apakah Anas Effendi kinerjanya kurang bagus? Hal ini dibantah oleh Jokowi melalui Media Indonesia (15/02/2013) “Ya karena di perpustakaan kosong. Memang di arsip itu kosong kok. Kan yang di arsip sudah pensiun”. Kinerja Anas Efefndi pun dinilai cukup bagus “Sudah bagus. Pak walikota lincah” lanjut Jokowi.

Benarkah kinerja Anas Effendi sudah bagus? Jawa Pos National Network mengungkapkan bahwa Sebelumnya, kinerja Anas Effendi sempat menjadi sorotan Boy Bernadi Sadikin yang merupakan anggota DPRD DKI sekaligus Anggota Fraksi PDIP. “Saya tinggal di Selatan, lihat saja itu galian isinya enggak jelas. Ada kabel, air, sampah. Walikota Jakarta Selatan itu kerjanya cuma tidur sama dangdutan,” kata Boy beberapa waktu lalu.

Mengenai penggeseran Anas Effendi ini saya konfirmasi kepada Ketua DCP PDI Perjuangan, Gembong Warsono, yang juga telah lama kenal sang Walikota. “Pak Anas kinerjanya sudah bagus, tapi memang selama ini hampir tidak ada inovasi” ungkap Gembong. Gembong pun membantah kalau isu politis merupakan alasan pemindahan Anas Effendi “Walikota itu memang jabatan semipolitis. Ya wajarlah kalau dulu mendukung incumbent, kan harus patuh atasan. Lagi pula Pak Jokowi orangnya objektif, yang terpenting bisa mengikuti ritme kerjanya” lanjutnya. Kita ketahui bersama bahwa Jokowi menuntut jajarannya untuk dapat bekerja cepat dan penuh inovasi untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang tinggi.

Jadi dapat dikatakan bahwa Anas Effendi belum dapat mengikuti ritme kerja Jokowi dan ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi. Lalu kenapa harus ke Badan Perpustakaan dan Arsip DKI? Boleh dikatakan Badan Perpustakaan dan Arsip daerah bukanlah bidang-bidang yang disoroti oleh sebagian besar masyarakat. Apabila kinerjanya buruk, masyarakat dan media tidak akan “rewel”, luput dari perhatian. Berbeda dengan kinerja dinas PU, apabila kinerja buruk akan sangat terlihat mencolok. Jalan rusak misalnya, akan mengganggu kegiatan transportasi, ekonomi, dan permasalahan lainnya. Hal ini tentu akan menimbulkan “keramaian”. Lihat saja PILKADA JABAR tahun ini. Isu utama yang dibahas adalah permasalahan banyaknya  jalan yang rusak. Pernahkah ada yang membahas Perpustakaan dan Arsip? Adakah calon gubernur dan wakil gubernur yang perduli?

Siapa yang punya kompetensi?

Jadi apakah Pak Jokowi masih menganggap Badan Perpustakaan dan Arsip itu tidak penting? Hilangnya aset-aset penting milik pemerintah daerah DKI Jakarta karena kacaunya pengelolaan arsip mereka sudah cukup membuat Jokowi melek pentingnya urusan ini. Jokowi sendiri sudah memetakan sumber daya manusia yang dimiliki dijajarannya. Hasilnya, Jokowi tidak menemukan orang yang kompeten dijajaran struktural pemerintahannya. Jokowi ingin mengangkat yang muda, tapi ternyata eselon II yang paling muda sudah berusia setengah abad. Ingin menemukan yang ahli dibidang perpustakaan sekaligus arsip? Apalagi… Walhasil, dengan terpaksa dan terbenturnya masalah SDM para birokrat, lagi-lagi badan perpustakaan dan arsip dikorbankan. Toh Jokowi juga berjanji melakukan penilaian dan akan kembali melakukan rotasi apabila pejabat-pejabat baru tersebut tidak maksimal kinerjanya “Jika selama enam bulan saya lihat tidak ada perubahan, ya maaf, siap saya ganti?” tantang Jokowi saat pelantikan yang disambut jawaban “Siap Pak” oleh para pejabat baru.

Kalau yang eselon itu tidak mampu, kenapa tidak mencari yang muda dibawah itu? “Syarat kepangkatannya tidak ketemu. Dan tidak mungkin langsung mengangkat seorang prajurit menjadi letnan, nanti dikepluki kapten-kaptennya” kata Gembong. Kita perlu sadari bahwa masalah pengangkatan juga memiliki peraturan. Masalah yang terpenting adalah jauhnya GAP antara yang muda dan yang tua karena Pemda pernah vakum selama 10 tahun tidak ada perekruitan.

Kenapa tidak merekruit orang luar? Hal ini lebih sulit lagi karena akan terbentur masalah peraturan. Terlebih lagi, Jokowi menginginkan orang-orang yang siap langsung bekerja. Jadi bukan orang yang harus meraba-raba permasalahan terlebih dahulu. Orang yang siap akan hal itu dan mengerti seluk beluk permasalahan tentulah orang dalam itu sendiri.

Anas Effendi menolak jabatan?

Pengangkatan Anas Effendi sebagai Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip DKI membuat kaget dirinya. Bahkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku kepada media “Dia Tanya salahnya apa, Ya saya bilang enggak ada salah,” seperti yang dikutip Tempo.com. Bahkan Ahok sendiri mengungkapkan bahwa jabatan Anas Effendi yang baru ini sangat penting dan bagus untuk dirinya. “Perpustakaan itu penting lho, karena mengurusi asrip seluruh Jakarta.” Ahok pun mengungkapkan “Ya bagus dong, malah lebih pinter dipindah kesana,”.

Ahok pun mengakui bahwa keputusan Jokowi merotasi Anas Effendi menjadi kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI menggantikan Maman Achdiyat yang pensiun merupakan usulan dari Sekretaris Daerah DKI Fadjar Panjaitan. “ya kan karena Pak Maman Achdiyat-nya pensiun, jadi posisi kepala BPAD itu kosong. Terus Pak Sekda usul, yang paling tepat di Arsip dan Perpustakaan itu Pak Anas yang Wali Kota Jakarta Selatan. Kita tanya dong ke Pak Sekda, siapa yang akan menggantikan sementara Pak Anas sebagai walikota, beliau bilang ada wakilnya, jadi ya sudah aman,” ungkap Ahok seperti yang dikutip kompas.com. Jadi kalau kita mau mempertanyakan keputusan ini, Fadjar Panjaitan lah orang yang harus diminta klarifikasi.

Anas Effendi sendiri tidak hadir dalam acara pelantikan jabatan barunya. Secara hukum ini dapat dikatakan sebagai pembangkangan. Tindakan indisipliner ini tentu akan diproses dalam sidang yang nantinya akan menentukan nasib Anas Effendi sendiri. Kemungkinan pilihannya adalah dicopot atau pensiun dini.

Tentu kita bertanya-tanya apa alasan Anas Effendi menolak jabatan ini? Kalau karena beliau sadar bahwa dirinya tidak kompeten mengenai permasalahan perpustakaan dan arsip, saya angkat topi untuk Anda. Meski itu artinya melanggar sumpah PNS yang harus bersedia ditempatkan dimana saja seperti seorang prajurit. Karena seorang Prajurit berbeda dengan seorang Ksatria. Tidak semua prajurit memiliki jiwa ksatria. Namun, apabila alasan Anas Effendi menolak jabatan ini karena perpustakaan ini tidak bergengsi, bukan lahan basah, tidak popular, dsb. Maka perlu Anda ketahui bahwa saya sebagai seorang pustakawan (dan mungkin seluruh pustakawan di Indonesia) juga tidak sudi melihat perpustakaan menjadi tempat sampah!!!  Seandainya dijadikan tempat sampah pun kami menginginkan sampah yang dapat didaur ulang!!!

AutoKritik Pustakawan

Permasalahan perpindahan Anas Effendi juga ikut membuka borok pustakawan dan dunia kepustakawanan. Saya berpikir bahwa “kalian pustakawan kemana saja? Sudah melakukan hal berguna apa? Kok perpustakaan sampai luput dari perhatian masyarakat?”

Hal ini juga menjadi autokritik bagi diri saya yang seorang pustakawan dan mencintai dunia pendidikan. Bagaimana bisa perpustakaan yang dimulut orang-orang yang ditanya pasti mengakui pentingnya perpustakaan dan arsip tetapi pada kenyataannya diabaikan? Bagaimana bisa pustakawan dikangkangi begitu saja dengan mudahnya? Kesulitan yang dialami Jokowi saat mencari SDM dijajarannya yang mengerti perpustakaan sebagai contoh. Padahal walaupun sedikit tetapi ada lulusan jurusan ilmu perpustakaan di BPAD DKI sana. Ada juga pustakawan yang telah bekerja hingga puluhan tahun di sana. Tetapi terkesan mereka hidup segan mati tak mau. Gak bisa naik tetapi gak mau dilangkahi.

Seandainya saja ada pustakawan di BPAD khususnya yang mau menunjukkan kepeduliannya dan berani bernegosiasi dengan pimpinan tentu nasib BPAD sendiri tidak akan diremehkan seperti ini. Pustakawan jangan lagi memiliki sikap pasif, minder, dan oportunis. Kalau memang menganggap peran kita penting maka tunjukkanlah bahwa kita dapat melakukan hal-hal penting tersebut.

Dimana peran perpustakaan dan organisasi-organisasi pustakawan? Tertelan dalam egoisme sektoral kah? Tertimbun dibalik tumpukan buku dan arsip kah? Atau asyik dengan dirinya masing-masing… Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum kalau kaum itu tidak mau mencoba mengubah nasibnya sendiri. Yang terpenting saat ini adalah pustakawan bersama-sama bersatu dan maju bersama.

Undang-undang nomer 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.

Boleh dikatakan undang-undang ini merupakan pedoman bagi pustakawan. Akan tetapi tidak sedikit pustakawan yang belum pernah membaca ini. Jadi jangan salahkan Jokowi apabila beliau juga tidak mengetahui adanya undang-undang ini. Bahkan ada oknum yang sengaja mencari dan membuat celah undang-undang ini untuk kepentingannya walaupun harus merendahkan profesinya dan kawan-kawannya, pustakawan.

Apabila mengacu kepada undang-undang  no 43 tahun 2007 pasal 30 dikatakan bahwa “Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum Pemerintah, perpustakaan umum provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan tinggi dipimpin oleh pustakawan atau oleh tenaga ahli dalam bidang perpustakaan.” Pasal ini mengisyaratkan bahwa tidak boleh sembarangan orang menduduki jabatan kepala perpustakaan. Apalagi jabatan ini ternyata diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten dan demi kepentingan politis semata. Bukan rahasia lagi kalau posisi kepala perpustakaan daerah umumnya dijadikan tempat pembuangan atau pengasingan bagi pejabat yang dahulu mendukung lawan politik kepala daerah saat Pilkada. Atau posisi ini dapat pula dijadikan sebagai tempat untuk tim sukses yang mendapatkan sisa kedudukan dari kepala daerah karena posisi lainnya sudah ada yang lebih ahli dan lebih kapabel.

Apakah hal ini melanggar undang-undang? Jelas iya!! Tetapi ternyata kita (pustakawan) sendiri memberikan peluang yang membuat perpustakaan selalu menjadi tempat sampah. Dalam ketentuan umum, pasal 1 UU no 43 tahun 2007 disebutkan bahwa “Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.” Kata “pelatihan” ini membuka peluang bagi “orang buangan” tersebut melenggang menjadi kepala perpustakaan. Mengapa? Karena ada institusi yang menyediakan pendidikan kepustakawanan dalam waktu 3 bulan untuk mendapatkan status sebagai pustakawan. Hal ini jelas tidak adil. Dimana ada orang-orang berlatar belakang pendidikan Ilmu perpustakaan yang belajar bertahun-tahun harus dipimpin oleh orang yang hanya mengikuti pelatihan kurang dari satu tahun. Memang kalau pustakawan berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan yang memimpin akan lebih baik? Memang belum jaminan, tetapi paling tidak kita berusaha mencegah dan menutup celah pelanggaran UU No 43 tahun 2007.

Lalu mengapa ada institusi yang menyediakan pelatihan tersebut? Awalnya pelatihan kepustakawanan diadakan karena kurangnya SDM berlatar belakang ilmu perpustakaan. Tentu tidak semua produk dari pelatihan kepustakawanan tersebut tidak berkualitas. Tetapi akan lebih bijaksana apabila mendahulukan orang-orang yang memang berlatar belakang ilmu perpustakaan untuk memegang posisi sepenting kepala perpustakaan dengan asumsi mereka lebih banyak mengetahui dan belajar mengenai dunia kepustakawanan dan arsip. Diperlukan penjabaran spesifik mengenai kriteria pustakawan dan peraturan baku yang menyatakan bahwa kepala perpustakaan harus memiliki keahlian dalam ilmu perpustakaan. Jalan lainnya adalah dengan segera mengadakan sertifikasi profesi pustakawan dan memastikan hanya pustakawan yang lulus sertifikasilah yang dapat mengisi jabatan kepala perpustakaan dan arsip daerah. Diperlukan kerjasama yang baik antara organisasi profesi pustakawan (IPI), Perpustakaan Nasional RI, lembaga penyelenggara pendidikan perpustakaan, dan organisasi/jaringan perpustakaan lainnya untuk menyelenggarakan dan mengawasi sertifikasi ini.

Saran dan Rekomendasi

Panasnya berita Anas Effendi memberi dampak positif dan negatif bagi dunia kepustakawanan. Dampak positifnya sekarang BPAD menjadi terkenal dan menjadi sorotan. Dampak negatifnya citra perpustakaan sebagai tempat buangan semakin melekat pada perpustakaan. Ada beberapa hal yang dapat kita (yang mengaku dirinya pustakawan dan/atau peduli dengan dunia perpustakaan dan arsip) lakukan:

1. Meminta audiensi kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo

Yang perlu kita sadari adalah Jokowi yang seorang Gubernur DKI Jakarta dan penggemar musik rock itu jugalah seorang manusia. Ada nilai plus-minusnya. Perlu saran dan masukan. Keunggulan Jokowi adalah terbuka akan semua usul dan senang berdiskusi. Mungkin pustakawan (khususnya yang memilih Jokowi saat pemilu) sedikit kecewa. Pustakawan yang selama ini dianggap remeh masih merasa belum di-wong-kan padahal Jokowi dikenal dapat meng-wong kan rakyat. Masalah pengangkatan Kepala BPAD DKI dapat menjadi pemicu kita untuk meminta audiensi kepada Jokowi, mungkin Jokowi tidak tahu kalau disini ada PNRI, ISIPII, IP&I dan universitas-universitas yang menggelar program Ilmu Perpustakaan.

Paling tidak ada perwakilan yang mewakili pustakawan Indonesia untuk melakukan audiensi dengan Jokowi. Bukan sekedar gerakan penolakan tapi sekedar menolak, tanda tangan, lalu selesai. Setahu saya Jokowi orangnya terbuka terhadap kritik dan saran namun kita harus siap dengan segala jalan keluar atau rekomendasi permasalahan. Sekedar protes tanpa solusi hanya memperburuk citra pustakawan

2. Lelang Jabatan

Apabila perasalahannya pada SDM. Mengapa kita tidak coba mengusulkan lelang jabatan kepala BPAD DKI Jakarta? Bukankah wacana ini pernah digelontorkan untuk mengisi jabatan Lurah dan Camat. Dan apabila memungkinkan dibuatkan kontrak yang menyatakan bahwa setiap PNS di BPAD DKI rela dilangkahi secara kepangkatan oleh PNS lain yang lebih kompeten

3. Membuat program perpustakaan dan arsip yang selaras dan mendukung program Jokowi.

Jokowi memiliki 10 program yang telah diumumkan kepada masyarakat. Mengapa kita tidak membuat program perpustakaan dan arsip yang selaras dan mendukung suksesnya program-program Jokowi. Misalnya membuat program yang mendukung program “Jakarta Pintar” dan “Pemberantasan kampung kumuh” BPAD DKI Jakarta dapat membantu program-program tersebut dengan pemaksimalan teknologi informasi untuk melayani pelajar yang lebih akrab dengan dunia teknologi dan menyebarkan perpustakaan-perpustakaan atau taman bacaan di daerah kumuh yang sedang diperbaiki.

Pak Putu Laxman Pendit mengatakan bahwa semakin jelas bahwa musuh kita (perpustakaan) adalah birokrasi. Bagi saya, musuh kita jelas PEMBODOHAN DAN KESERAKAHAN. Dua hal ini yang membuat birokrasi terlihat menyebalkan.

Oleh:

Danang Dwijo

Daftar bacaan lanjutan:

Anas Dimutasi Jokowi untuk Urusi Perpus. (2013, February 14). Jawa Pos National Network. http://www.jpnn.com/read/2013/02/14/158441/Anas-Dimutasi-Jokowi-untuk-Urusi-Perpus-

Aziza, Kurnia Sari. (2013, February 15). Basuki: Sekda Usul Anas Paling Tepat Urus Perpustakaan. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/15/16483331/Basuki.Sekda.Usul.Anas.Paling.Tepat.Urus.Perpustakaan

Kurniawan, Bahri. (2013, February 14). Tak Hadiri Pelantikan, Wali Kota Jakarta Selatan ‘Menghilang’. Tribunnews.com. http://jakarta.tribunnews.com/2013/02/14/tak-hadiri-pelantikan-wali-kota-jakarta-selatan-menghilang

Warsono, Gembong. (2013, February 15). Personal interview

Manafe, Imanuel Nicholas. (2013, February 15). Ahok: Justru Pak Anas Lebih Pintar di Perpustakaan. Tribunnews.com. http://jakarta.tribunnews.com/2013/02/15/ahok-justru-pak-anas-lebih-pintar-di-perpustakaan

Puti, Tri Artining. (2013, February 15). Anas Effendi Tanyakan Salahnya Ke Ahok. Tempo.co. http://www.tempo.co/read/news/2013/02/15/231461574/Anas-Effendi-Tanyakan-Salahnya-Ke-Ahok

Undang-undang No.43 Tahun 2007 tentang perpustakaan